Tradisi Galungan di Bali

 

  Hari Raya Galungan adalah salah satu peringatan keagamaan bagi umat Hindu di seluruh Indonesia. Peringatan ini dirayakan setiap 6 bulan sekali dalam kalender Bali atau atau setiap 210 hari. Pada tahun 2023 ini, peringatan Hari Raya Galungan diperingati sebanyak 2 kali. Yakni pada tanggal 4 Januari 2023 lalu dan tanggal 2 Agustus 2023.





Hari Raya Galungan adalah hari raya keagamaan bagi umat Hindu untuk memperingati terciptanya alam semesta dan seluruh isinya. Selain itu, juga untuk merayakan kemenangan dharma (kebenaran) melawan adharma (kejahatan). 
Sebagai bentuk ungkapan syukur, maka umat Hindu akan merayakan Hari Raya Galungan ini dengan melakukan persembahan pada Sang Hyang Widhi dan Dewa Bhatara (dengan segala manifestasinya). Saat peringatan hari raya ini, maka umat Hindu akan memasang Penjor (semacam hiasan bambu sesuai tradisi masyarakat bali) di tepi jalan setiap rumahnya yang merupakan aturan kehadapan Bhatara Mahadewa.



        Kata "Galungan" berasal dari bahasa Jawa kuno yang berarti bertarung. Galungan juga biasa disebut dengan 'dungulan' yang artinya menang. Meski terdapat perbedaan penyebutan Wuku Galungan di Jawa maupun Wuku Dungulan di Bali, keduanya memiliki arti yang sama yaitu wuku yang kesebelas.  Adapun sejarah awal mula perayaan Galungan ini tidaklah diketahui secara pasti. 
Sementara itu menurut Lontar Purana Bali Dwipa, Hari Raya Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat (Budha Kliwon Dungulan) di tahun 882 Masehi atau tahun Saka 804. Dalam kitab atau pustaka suci umat Hindu tersebut disebutkan,
"Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya." Artinya: "Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka."



Ada juga Adat Mapeed berikut pengertiannya. Mapeed atau Peed adalah merupakan tradisi unik yang ada di beberapa desa di Bali. Masyarakat Hindu di Bali sejak lama memiliki kebudayaan unik, indah, kaya makna sekaligus penuh misteri. Tradisi mepeed di desa Sukawati, Gianyar, Bali adalah salah satu tradisi yang selalu dilaksanakan setiap Pujawali (peringatan hari lahirnya sebuah tempat suci) di Pura Kahyangan Tiga dan dianggap sebagai peneduh jagat (penyelamat alam semesta secara niskala). Tradisi ini dilaksanakan pada Anggara Kliwon Tambir di Pura Dalem Gede Sukawati, dalam pelaksanaannya ini, selalu berjalan proses dan kerjasama beberapa unsur elemen masyarakat yang biasa disebut Tri Manggalaning Yadnya yaitu pelaku utama kegiatan atau pelaksana.


KEUNIKAN MAPEED 

Arti dari Mepeed adalah berjalan secara beriringan, oleh karena itu warga yang datang diwajibkan secara berkelompok dan tidak diperbolehkan untuk datang seorang diri.[3] Mepeed yang dilaksanakan di desa Sukawati, tidak seperti mepeed yang dilaksanakan di desa lainnya yang biasanya peserta hanya diikuti oleh krama istri (wanita) yang beriringan rapi sambil nyuun (membawa sesuatu diatas kepala) gebogan. Mepeed di desa ini juga diikuti oleh krama lanang (pria), anak-anak, remaja, ibu PKK hingga lansia yang berjalan beriringan dengan menggunakan payas (busana) Bali.





Sumber artikel : https://www.djkn.kemenkeu.go.id/
Sumber gambar : 

Komentar